Friday 1 January 2016

Makalah Ilmu Tauhid: Rukun Iman dan Sejarah Ilmu Kalam



Rukun Iman


1.      Iman Kepada Allah SWT
Iman kepada Allah adalah meyakini bahwa Allah itu Maha Esa dan tiada Tuhan selain Allah. Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 136:
وَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ ١٦٣
Artinya:      Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Implikasi Iman kepada Allah adalah mendirikan sholat, menafkahkan sebagian rizqi, selalu berbuat kebajikan dan melaksanakan perintah Allah dari segi ibadah.

2.      Iman Kepada Malaikat Allah
Iman kepada Malaikat adalah meyakini bahwa Allah telah menciptakan Malaikat untuk selalu melakukan perintah-Nya. Firman Allah dalam Q.S. Al-Anbiya’ 19-20:
وَلَهُۥ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَمَنۡ عِندَهُۥ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِهِۦ وَلَا يَسۡتَحۡسِرُونَ ١٩ يُسَبِّحُونَ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ لَا يَفۡتُرُونَ ٢٠
Artinya:      Dan kepunyaan-Nya-lah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya

Implikasi Iman kepada Malaikat Allah adalah selalu berhati-hati setiap melakukan sesuatu, senantiasa beeramal sholeh dan selalu taat pada Allah.

3.      Iman Kepada Kitab Allah
Iman Kepada Allah adalah meyakini adanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi sebelumnya. Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 136:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا ١٣٦
Artinya:      Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya

Implikasi Iman kepada Kitab Allah adalah yakin akan kitab Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, senantiasa membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an.




4.      Iman Kepada Rasul Allah
Iman kepada Rasul Allah adalah meyakini bahwa Rasullullah itu benar-benar utusan Allah yang diutus untuk umat manusia guna menyampaikan wahyu Allah. Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 285:
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ ٢٨٥
Artinya:      Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali"

Implikasi Iman kepada Rasul Allah adalah optimis, tabah, sabar, peduli terhadap kaum dhu’afa dan selalu melaksanakan ibadah-ibadah sunnah.

5.      Iman Kepada Hari Kiamat
Iman kepada Hari Kiamat berarti kita benar-benar dan dengan sepenuh hati meyakini akan adanya hari kiamat dan pastinya akan terjadi dan menimpa umat manusia di seluruh jagat raya ini. Firman Allah dalam Q.S. Thaha ayat 15:
إِنَّ ٱلسَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخۡفِيهَا لِتُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا تَسۡعَىٰ ١٥
Artinya:      Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan

Implikasi Iman kepada Hari Akhir adalah berhati-hati dan memperbanyak amal sholeh untuk bekal di akhirat.

6.      Iman Kepada Qodho dan Qodar Allah
Iman Kepada Qodho dan Qodar adalah meyakini dan mengimani atas apapun ketetapan Allah dan kekuasaan Allah. Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 38:
مَّا كَانَ عَلَى ٱلنَّبِيِّ مِنۡ حَرَجٖ فِيمَا فَرَضَ ٱللَّهُ لَهُۥۖ سُنَّةَ ٱللَّهِ فِي ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرٗا مَّقۡدُورًا ٣٨
Artinya:      Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku
     
Implikasi Iman kepada Qodho dan Qodar adalah selalu bersyukur dan bersabar atas apa yanng telah terjadi pada dirinya.
  

Sejarah Ilmu Kalam

Munculnya Ilmu Kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekholifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Tholib mengkristal menjadi Perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim yakni tawaran yang diusulkan untuk memecah kubu Sayyidina ali menjadi dua bagian yaitu Syi’ah dan Khowarij (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, ia dalam keadaan terpaksa, itu tidak disetujui oleh sebagian tentaranya dalam arti menentang. Mereka memandang Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan sebutan Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.Sedangkan, sebagian besar pasukan yang membela dan tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syi’ah.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Ilmu Kalam dapat dibagi menjadi dua , yaitu faktor dari dalam ( intern) dan faktor dari luar ( extern).
1.    Faktor Intern
Adapun faktor-faktor intern dari ilmu kalamada tiga macam, yaitu:
a.    Sesungguhnya Al-Qur’an itu sendiri disamping merupakan seruan dakwahnya kepada tauhid dan mempercayai kenabian, terdapat pula perkara yang berhubungan soal menyinggung golongan-golongan dan agama yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW.lalu Al-Qur’an itu menolaknya dan membatalkan pendapat-pendapatnya.
b.    Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rezekinya,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama.
c.    Masalah –masalah politik, yakni pada detik-detik saat Rasullullah wafat, beliau tidak memberikan satu isyaroh pun tentang siapa yang akan menggantikan beliau dalam masalah Khilafah dan Imamah, sehingga terjadilah pro dan kontra di kubu umat Islam pada waktu itu.
2.    Faktor Extern
Adapun faktor-faktor extern ada tiga, yaitu:   
a.    Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islamitu sesudah kemenangannya, semula mereka memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain-lain.
b.    Sesungguhnya golongan islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah telah memutuskan perhatiannya yang terpenting yaitu untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang memusuhi islam.
c.    Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan faktor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan (mengimbangi) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami (tokoh Mu’tazilah) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak baberapa pendapatnya.

Makalah Bhinneka Tunggal Ika


A.     PENGANTAR
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, golongan, kelompok, kebudayaan dan agama. Kemajemukan merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus sebagai tantangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu diawal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia kemajemukan yang harus dijaga dengan persatuan dan kesatuan yang kemudian disimbolkan dengan Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika.
Kelahiran suatu bangsa memiliki karakteristik, sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri. Adapun faktor-faktor yang mendukung kelahiran suatu bangsa Indonesia meliputi faktor objektif yaitu faktor geografis-ekologis dan demografis faktor subjektif yaitu faktor historis, sosial, politik dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Mr. M. Yamin berpendapat negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap:
  • Zaman Sriwijaya (600-1400), yang bercirikan kedatuan. 
  •  Zaman Majapahit (1293-1525), yang bercirikan keprabuan.
  • Negara kebangsaan modern yaitu Negara Indonesia merdeka.
Robert de Ventos, dikkuutip Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity, mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa. Faktor pertama, mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan sejenisnya. Faktor kedua, meliputi pembanguna komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan Negara. Faktor ketiga, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat. Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembebtukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.

B.       Dasar Hukum Lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana terkandung dalam lambang negara Garuda Pancasila, bersama-sama dengan Bendera Negara Merah Putih, Bahasa Negara Bahasa Indonesia dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, merupakan jati diri dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesemuanya itu menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun serpihan sejarah Nusantara. Dalam hubungannya dengan lambang Negara Garuda Pancasila yang di dalamnya terdapat seloka Bhinneka Tunggal Ika telah diatur dalam UUD pasal 36A, sedangkan pengaturan peerihal bendera, bahasa, lagu kebangsaan serta lambang Negara diamanatkan pada UUD pasal 36C. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai hal yanng terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, lambang Negara dan lagu kebangsaan, termasuk mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengajaa melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang ini. Ketentuan Lambang Negara termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 dan terbagi ke dalam tiga bagian.
1.      Bagian Kesatu (Pasal 46-50), membahas tentang bagaimana bentuk dari Lambanng Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Bagian Kedua (Pasal 51-56),  membahas tentang penggunaan Lambang Negara
3.      Bagian Ketiga (Pasal 57), membahas tentang  larangan-larangan.

C.       Bhinneka Tunggal Ika sebagai Local Wisdom Bangsa Indonesia
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia LambangNegara Republik Indonesia Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dituangkan dalam Peraturan pemerintah No 66 Tahun 1951, yang disusun oleh Panitia Negara yang diangkat oleh Pemerintah. Burung garuda adalah merupakan kekayaan satwa nusantara, termasuk jenis burung yang besar, kuat dan mampu terbang tinggi. Hal ini melukiskan cita-cita bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat internasional. Sedangkan seloka Bhinneka Tunggal Ika yang melambangkan realitas bangsa dan negara Indonesia diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empat belas (1350-1389). Seloka tersebut terdapat dalam karyanya Sutasoma yang berbunyi Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, yang artinya Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua. Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.  Apabila kita ingin bersatu, persoalan pokoknya bukanlah menghilangkan perbedaan. Hal itu sangat mustahil karena bertentangan dengan kodrat. Biarlah perbedaan itu ada dan tetap ada. Yang kita usahakan adalah bagaimana caranya agar perbedaan itu dapat tetap mempersatukan kita dalam kesatuan yang indah, seperti indahnya warna-warni pelangi.

D.      Prinsip-Prinsip yang Terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam rangka membentuk kesatuan dari keanekaragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yang memiliki kesamaan. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya  pada golongan minoritas.
Bhinneka Tunggal Ika  bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu,  dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.

E.       Implementasi Bhinneka Tunggal Ika
1.         Perilaku inklusif
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2.         Mengakomodasi sifat pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia.
3.         Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
4.         Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan musyawarah untuk mencapai mufakat. Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah.
5.         Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.

F.        KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemajemukan merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus sebagai tantangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu diawal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia kemajemukan yang harus dijaga dengan persatuan dan kesatuan yang kemudian disimbolkan dengan Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika. Dalam hubungannya dengan lambang Negara Garuda Pancasila yang di dalamnya terdapat seloka Bhinneka Tunggal Ika telah diatur dalam UUD pasal 36A dan ketentuan Lambang Negara termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009. Pengimplementasian Bhinneka Tunggal Ika dapat dilakukan dengan menerapkan perilaku inklusif, pluralistik, musyawarah untuk mufakat dan melakukan apapun dilandasi rasa kasih sayang dan rasa rela berkorban.
  
G.      PENUTUP
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi ppokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan. Penulis banyak berharap para pembaca yanng budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

Resume Buku Sufi dari Zaman ke Zaman; Dr. Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani

BAB I
Pengertian dan Sumber Tasawuf dalam Islam
Pengertian
            Menurut Ibn al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin dengan: “Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.” Sementara al-Kattani berkata: “Tasawuf adalah moral. Barang siapa yang diantaramu semakin bermoral, tentu, jiwanya pun semakin bening.”
            Apabila al-Qur’an kita kaji secara mendalam, maka di dalamnya pun kita dapatkan berbagai bentuk hukum syar’i, yang secara global dapat kita bagi menjadi tiga bagian utama; bagian yang berkaitan dengan ‘aqidah (keimanan kepada Allah), bagian yang berkaitan dengan masalah-masalah cabang furu’ (ibadah dan mu’amalah), dan bagian yang berkaitan dengan akhlaq (moral).
Sumber Tasawuf
Menurut R. A. Nicholson dalam karyanya, The Mystics of Islam:

a.       Berasal dari Persia
b.      Berasal dari sumber Kristen
c.       Ditimba dari sumber India
d.      Berasal dari sumber Yunani

Tasawuf pada awal pembentukan disiplinnya adalah moral keagamaan. Jelas sumber pertamanya adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari al-Qur’an dan as-Sunnah itulah para sufi mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku. Juga latihan-latihan rohaniah mereka, yang mereka susun demi terealisasinya tujuan-tujuan kehidupan mistis.

BAB II
Gerakan Zuhd (Asketisisme) Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Pengertian     
Zuhd (Asketisisme) adalah fase yang mendahhului tasawuf. Dalam Islam asketisisme adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Faktor-faktor yang membuat asketisisme berkembang dalam Islam menurut beberapa ahli:
a.       R. A. Nicholson, menganggap asketisisme dalam Isla berkembang secara Islam, sekalipun memang agak terkena dampak Nasrani.
b.      Ignaz Goldziher, berpendapat bahwa tasawuf mempunyai dua aliran, yaitu:
1.      Asketisisme yang mendekati semangat Islam serta Ahlus Sunnah, sekalipun terkena dampak asketisisme Masehi.
2.      Tasawuf yang terkena dampak Neo Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindhu.
c.       Abu al-‘Ala ‘Afifi, ada empat faktor yang mengembanngkan asketisisme dalam Islam, yaitu:
1.      Ajaran Islam itu sendiri.
2.      Revolusi rohaniah kaum Muslimin terhadap sistem sosio-politik.
3.      Dampak asketisisme Masehi.
4.      Penentangan terhadap fiqh dan kalam.
Aliran-aliran Asketisisme
a.       Aliran Madinah
Sejak masa Madinah, telah muncul para asketis. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah saw sebagai panutan kezuhudannya. Tokoh mereka diantaranya, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah (18 H), Abu Dzar al-Ghiffari (22 H), Salman al-Farisi (32 H), Sa’id ibn al-Musayyad (91 H), dan Salim ibn ‘Abdullah (106 H).
b.      Aliran Bashrah
Menurut Massignon, orang-orang Arab yanng tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis, dan tidak percaya pada hal yang riil. Mereka terkenal menyukai hal logis dalam nahwu, hal nyata dalam puisi, dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut alliran Ahlus Sunnah, tapi cenderung pada alliran-aliran Mu’tazillah dan Qodariyyah. Tokoh mereka diantaranya, al-Hasan al-Bashri (110 H), Malik ibn Dinar (131 H), Fadhl al-Raqqasyi, Rabbah ibn ‘Amru al-Qisyi (195 H), Shallih al-Murri atau ‘Abdul-Wahid ibn Zaid (177 H).
c.       Aliran Kufah
Menurut Massignon, aliran ini berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal aneh dalam nahwu, hal imagi dalam puisi, dan harfiah dalam hadits. Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Raja’iyyah. Tokoh mereka diantaranya, ar-Rabi’ ibn Khatsim (67 H), Sa’id ibn Jubair (95 H), Thawus ibn Kisan (106 H), Sufyan al-Tsauri (161 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (198 H), dan Abduk (210 H).
d.      Aliran Mesir
Pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran asketisisme lain, yang dilupakan para orientalis.aliran yang berrcorak shalafi ini adalah aliran Mesir. Sejak penaklukan Islam terhadap Mesir sejumlah sahabat telah memasuki kawasan itu.  Tokoh mereka diantaranya, Salim ibn ‘Atar al-Tajibi (75 H), ‘Abdurrahman ibn Hujairah (83 H), Nafi’ (117 H), al-Laits ibn Sa’ad (175 H), Hayah ibn Syuraih (158 H), dan Abu ‘Abdullah ibn Wahhab ibn Muslim al-Mishri (197 H).
Karakteristik Asketisisme Islam Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyiah
1.      Asketisisme ini berdasarkan ide menjauhi hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memellihara diri dari azab neraka. Ide ini berakar dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, dan terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
2.      Asketisisme ini bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip-prinsip teoritis atas asketisismenya.
3.       Motivasi asketisisme ini adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Kemudian Rabi’ah al-Adawiyyah muncul dengan motivasi cinta kepada Allah yang bebas terhadap rasa takut terhadap azabNya maupun rasa harap terhadap pahalaNya.
4.      Asketisisme sebagian asketis yang terakhir, hal ini ditandai dengan kedalaman membuat analisa.

BAB III
Tasawuf Pada Abad Ketiga sampai Kelima Hijriyah
Aliran Tasawuf
            Menurut telaah para pengkaji tasawuf abad ketiga dan keempat Hijriyah, tasawuf pada masa itu adalah sebagi jalan mengenal Allah (ma’rifat) setelah tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Ketika itu terdapat dua aliran tasawuf. Pertama, aliran para sufi yang pendapatnya moderat (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana, yang tasawufnya berkecerendungan pada metafisis. Karakteristik tasawuf pad abad ini:

a.       Ma’rifat
b.      Moral dan Jalan Menuju Allah
c.       Fana
d.      Ketentraman
e.       Pemakaian Simbol-simbol dalam Ungkapan

            Tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun tokoh pada zaman ini sebagai berikut:
1.      Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazin, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishapur. Di sini dia bertemu gurunya Abu ‘Ali al-Daqqaq, dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan mode pakaian mereka.

2.      Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu Isma’il ‘Abdullah ibn Muhammad al-Anshari, lahir tahun 396 H di Herat, kawasan Khurasan. Ia merupakan seorang penyusun teori kefanaan dalam kesatuan.
3.      Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, lahir tahun 450 H di Thus, kawasan Khurasan. Ia adalah seorang pemikir yanng produktif dalam berkarya serta berwawasan luas, karena Ia belajar pada banyak guru dan mendalami banyak cabang ilmu dan juga filsafat. Setelah mengkaji tasawuf Ia pun sepenuhnya mengarahkan dirinya menempuh jalan para sufi.

BAB V
Tasawuf Filosofis dan Nama Tarikat
Pengertian
Tasawuf filosofis adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf ini mulai muncul dengan jelas dalam khasanah Islam sejak abad keenam Hijriyah. Ibnu Khaldun menyimpulkan ada empat obyek perhatian para sufi filosof, yaitu:
1.      Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya.
2.      Ilminasi ataupun hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
3.      Peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan dan keluarbiasaan.
4.      Pencptaan ungakapan yang pengertiannya sepintas samar-samar.
Tarikat yang Paling Menonjol
Nama tarikat di dunia Islam begitu bermacam, berselaras denngan perbedaan nama-nama pendirinya. Dalam kenyataannya tarikat-tarikat tersebut mengarah pada tujuan yanng sama, sementara perbedaannya, baik masa lalu ataupun masa sekarang hanyalah dalam aturan-aturan praktisnya semata.
Berikut adalah tarikat paling menonjol pada abad   keenam dam ketujuh Hijriyah:
a.       Tarikat al-Qadiriyyah yang didirikan oleh Syeikh ‘Abdul Qadir Jailani.
b.      Tarikat al-Rifa’iyyah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad al-Rifa’i.
c.       Tarikat al-Suhrawardiyyah yanng didirikan oleh Abu al-Najib al-Suhrawardi dan Syihabuddin Abu Hash ‘Umar al-Suhrawardi al-Baghdadi.
d.      Tarikat al-Syadziliyyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili.
e.       Tarikat al-Ahmadiyyah yang didirikan oleh Syayyid Ahmad al-Badawi.
f.       Tarikat al-Birhamiyyah yang didirikan oleh Syeikh Ibrahim al-Dasuqi al-Qursyi.
g.      Tarikat al-Kubrawiyyah yang didirikan oleh Najmuddin Kubra.
h.      Tarikat al-Naqsyabandiyyah yanng didirikan oleh Bahaq Naqsyaband al-Bukhari.
i.        Tarikat al-Khalawatiyyah dari Persia.
j.        Tarikat Bektasyiyyah yang didirikan oleh Haji Bektasyi.
k.      Tarikat al-Maulawiyyah yang didirikan oleh jalaluddin al-Rumi.

Monday 28 December 2015

Cover UAS


TUGAS UAS
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Dosen:
Koesoemadji, SH, MSi







Oleh:
Ahmad Safiq Fadllillah
NIM    : 1507016040
PSIKOLOGI (M)

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015